- Segini Jumlah Beras untuk Makan Siang Gratis Prabowo
- Ini 5 Pernyataan Ganjar-Mahfud Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden-Wapres Terpilih
- Hadiri Peringatan Hari Otda Ke-28, Wabup: Spirit Komitmen Berkelanjutan Bangun Daerah
- Anggota Koramil 0321-05/RM dan MPA Kembali Patroli Karhutla di Pematang Sikek
- Panglima TNI Hadiri Halal Bihalal PP Muhammadiyah di UMJ
- Kemenag Larang Seremoni Keberangkatan Haji Lebih dari 30 Menit, Berikut Ketentuannya
- Ini Formasi CPNS dan PPPK 2024 di 7 Kementerian
- Mantap, 8 Cabang Lomba MTQ Riau Peserta Siak Masuk Final
- Dewan Kehormatan Minta Ketum PWI Terima Sanksi Dugaan Penyalahgunaan Dana CSR BUMN
- Final MTQ ke-42 Provinsi Riau, Fahmil Putra Bengkalis Raih Juara 1
- Diduga Cemari Lingkungan, Sidak Komisi IV DPRD Pekanbaru ke PT Sumatera Kemasindo Diwarnai Penolakan
- Bupati Kasmarni Minta Kepala Sekolah Fokus dan Optimalkan Kinerja
- Dianggap Tak Guna, Pemerintah Diminta Segera Hapus DMO CPO
- Bukan RI-Vietnam, Ramai Pabrik Pindah dari China ke Negara ASEAN Ini
- Fahmil Putra Bengkalis Melaju Babak Final MTQ Riau di Dumai
- Bupati Alfedri Hadiri Pelepasan Siswa SMK Yamato Tualang
- Dolar Masih di Atas Rp16.200, Siap-Siap Harga Laptop-AC Beterbangan
- Kantor Pertanahan Kabupaten Bengkalis Ikuti Gerakan Sinergi Reforma Agraria Nasional Secara Virtual
- Bupati Siak Husni Merza Hadiri Halalbihalal dan Haul Yamani ke-7 bersama Majelis Preman Langit Community
- Aksi Teaterikal DKS Siak Pukau Penonton di Panggung Utama MTQ Riau
"Menakutkan, Desa Kami Dibakar, Banyak Anak dan Orangtua Terpisah"
"Kami Dengar, Orang-orang Berteriak Bakar, Bakar, Bakar..."
(AFP PHOTO)
Abdullah tak kuasa menahan air matanya. Laki-laki berusia 25 tahun itu adalah salah satu dari ribuan warga Muslim Rohingya yang harus menyelamatkan diri ke Banglades. Dia melarikan diri menyusul pecahnya kekerasan di Rakhine, Myanmar, sejak pekan lalu.
"Sangat menakutkan, rumah-rumah dibakar, orang-orang berlarian meninggalkan rumah mereka, anak dan orangtua terpisah, beberapa di antaranya hilang, yang lainnya tewas."
Abdullah berasal dari Desa Mee Chaung Zay, di kawasan Buthidaung, negara bagian Rakhine. Ia mengatakan empat dari enam kampung di desanya dibakar oleh aparat keamanan. Kondisi itu membuat dia dan warga lain harus menyelamatkan diri ke negara tetangga, Banglades.
Bersama ribuan warga desa, Abdullah mengungsi ke kaki Pegunungan Mayu. Ia mengungsi bersama istri dan anak perempuannya yang baru berusia lima tahun.
Abdullah membawa beras ketan, beberapa lembar plastik bekas, dan botol-botol air yang kosong. Itulah bekal untuk berjalan kaki selama beberapa hari melewati pegunungan demi menuju perbatasan Banglades. Dia bersama warga Rohingya lain berjalan kaki kira-kira 20 kilometer.
"Saya masih menunggu kerabat lain. Begitu kami semua berkumpul, kami akan segera pergi (ke Banglades)," kata Abdullah.
Para pejabat PBB mengatakan, hingga Rabu (30/8/2017), jumlah warga Rohingya yang telah melewati perbatasan dan masuk ke Banglades lebih dari 18.000 orang. Di antara mereka ada perempuan muda bernama Noor Begum.
"Jika kami kembali ke desa kami (di Rakhine), kami pasti akan dibunuh oleh tentara. Jangan paksa kami kembali ke sana."
Begum mengungkapkan kesaksiannya dengan berurai air mata kepada BBC di perbatasan Banglades-Myanmar. "Lebih baik kami mati di sini, kami tak mau pulang," kata dia lagi.
Gelombang pengungsian terbaru dipicu oleh serangan mematikan terhadap pos-pos keamanan di Rakhine oleh milisi Rohingya. Serangan itu kemudian dibalas dengan operasi keamanan oleh militer Myanmar.
Wartawan AFP yang mengunjungi desa-desa yang dilanda konflik mengatakan asap dari rumah rumah yang dibakar terlihat membumbung ke angkasa. Ia mengatakan, kekerasan tak menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda.
Setidaknya 110 orang tewas, 11 di antaranya pejabat negara bagian, sementara ribuan warga sipil mengungsi ke Banglades. Organisasi Migrasi Internasional (IOM) mencatat jumlah warga Rohingya yang mengungsi mencapai sedikitnya 18.445 orang.
"Kondisi mereka mengenaskan. Mereka sangat membutuhkan makanan, layanan kesehatan, dan tempat penampungan." Demikian diungkapkan Sanjukta Sahany, pejabat IOM di Cox's Bazar, di perbatasan Banglades-Myanmar.
Ia juga mengatakan, warga Rohingya yang mengalami luka, baik akibat tembakan senjata api maupun karena luka bakar. "Terlihat dengan jelas, orang-orang Rohingya ini trauma," kata Sahany.
PBB pun telah mengecam serangan oleh milisi Rohingya, dan kemudian mendesak militer Myanmar melindungi warga sipil tanpa membedakan etnisitas atau agama.
Nasib 1,1 juta warga Muslim Rohingya di Myanmar menjadi salah satu persoalan serius yang dihadapi pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi.
Masyarakat internasional menuduh Suu Kyi berdiam diri atas persekusi yang dialami warga Rohingya.
Di Myanmar, warga Rohingya tidak diakui, tak diberi status warga negara, dan dianggap sebagai imigran gelap. Meski, mereka mengklaim bahwa akar budaya mereka sudah ada di Myanmar sejak berabad-abad silam.
Kekerasan dalam beberapa hari ini menandai eskalasi dramatis sejak Oktober lalu ketika milisi Rohingya melakukan serangan dengan skala yang lebih kecil. Ketika itu, serangan ini juga dibalas dengan operasi militer, yang dikatakan PBB sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Militer Myanmar mengatakan, mereka sebisa mungkin akan menahan diri tapi juga menegaskan mereka mempunyai hak untuk membela diri dari serangan-serangan teroris.
"Kami Dengar, Orang-orang Berteriak Bakar, Bakar, Bakar..."
Aparat keamanan Myanmar diduga memang mencoba untuk mengusir warga Muslim Rohingya dari negara bagian Rakhine.
Pegiat Arakan Project, Chris Lewa, mengatakan, kelompok pengamanan swakarsa di Rakhine pun ikut serta dalam pembakaran desa-desa yang dihuni warga Rohingya.
"Apa yang kami dengar adalah (orang-orang berteriak) 'bakar, bakar, bakar'. Dan sepertinya (pembakaran) menyebar dari selatan ke utara," kata Lewa, Jumat (1/9/2017).
Dalam wawancara dengan BBC, Lewa mengatakan pembakaran rumah-rumah warga Rohingya berlangsung secara sistematis.
"Menurut saya sangat sistematis. Dari satu desa ke desa-desa yang lain. Kami juga mendengar orang-orang dibunuh ketika desa mereka diserang," kata Lewa.
Foto-foto yang beredar dalam beberapa hari terakhir memperlihatkan asap hitam membumbung ke angkasa dari desa-desa yang ditinggalkan warga Rohingya.
Apa yang disampaikan Lewa menguatkan kesaksian Abdullah, salah seorang pengungsi Rohingya, yang saat ini berusaha masuk ke negara tetangga, Banglades.
"Sangat menakutkan, rumah-rumah dibakar, orang-orang berlarian meninggalkan rumah mereka, anak dan orangtua terpisah, beberapa di antaranya hilang, yang lainnya tewas," kata Abdullah.
Lewa juga menuturkan, adanya pembunuhan 130 warga Rohingya di Desa Chut Pyin yang diduga dilakukan aparat keamanan Myanmar, dan kelompok pengamanan swakarsa.
"Kami diberi tahu bahwa tentara mengepung desa dan menyerang warga yang mencoba menyelamatkan diri."
Pernyataan Lewa ini dilansir harian Inggris, The Guardian.
"Informasi yang kami peroleh dari lapangan menyebutkan, setidaknya 130 tewas, sebagian besar akibat luka tembak."
"Angka ini kami dapatkan dari jumlah korban yang telah dikubur," kata dia sambil menambahkan bahwa insiden ini terjadi pada hari Minggu (27/8/2017).
Operasi pembersihan
Pemerintah Myanmar tidak membolehkan wartawan masuk ke kawasan Rakhine, sehingga pernyataan di atas belum bisa diverifikasi.
Namun, foto-foto yang didapatkan wartawan memperlihatkan desa-desa yang dibakar dan juga para korban yang mengalami luka tembak.
PBB mengatakan hampir 40.000 warga Rohingya mengungsi ke Banglades dalam sepekan terakhir.
Krisis terbaru dipicu oleh serangan oleh milisi Rohingya terhadap beberapa pos keamanan pekan lalu, yang kemudian dibalas dengan aksi militer oleh pemerintah Myanmar.
Sumber militer Myanmar mengatakan, tak kurang dari 400 orang tewas dalam gelombang kekerasan terbaru ini.
Dubes Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley, mengecam keras serangan milisi Rohingya, tapi juga mendesak militer Myanmar untuk tidak menyerang warga sipil yang tidak berdosa.
Haley mengatakan, aparat keamanan Myanmar wajib mematuhi hukum kemanusiaan internasional, dengan tidak menyerang warga sipil atau petugas bantuan kemanusiaan.
Namun, militer Myanmar mengatakan apa yang mereka lakukan adalah operasi membersihkan Rakhine dari unsur-unsur teroris.
(sumber: kompas.com)