- Gelar Gemar Siak Berzakat, Baznas Kabupaten Siak Berhasil Kumpulkan Rp 689.77 Juta
- Panglima TNI Terima Laporan Korps Kenaikan Pangkat 29 Perwira Tinggi TNI
- Peduli Sesama, TNI di Rokan Hulu Riau Bagi-Bagi Takjil Berbuka Puasa
- Bupati Bengkalis Serahkan LKPD Unaudited Tahun 2023 ke BPK RI Riau
- Safari Ramadhan, Bupati Rohil Salurkan Bantuan Operasional Masjid Mujahidin Sungai Nyamuk
- Ikhtiar Berzakat Terus Disosialisasikan, Bupati Alfedri Pimpin Gemar Siak Berzakat
- Panglima TNI Hadiri Rapat Koordinasi Lintas Sektoral Operasi Ketupat 2024
- TP PKK Kabupaten Siak dan BRK Syariah Salurkan 120 paket Sembako
- Ketua Umum Dharma Pertiwi Hadiri Pembukaan Jala Craft 2024
- Penuh Berkah, Pj Gubri dan Bupati Kasmarni Safari Ramadhan di Kecamatan Pinggir
- Soal Video Viral Mirip Sekda, Diskominfotiks Rohil Lakukan Koordinasi Dengan Kementrian Kominfo RI
- PM Jepang Lantik Tiga Perwira Remaja TNI Lulusan NDA
- Kisah Perjalanan-Spiritual Para Tokoh: Edisi Muslimah Muallaf Asal Filipina
- Polbeng Kembali Kirim Mahasiswa Kuliah di Jerman
- Panglima TNI Rotasi dan Mutasi 52 Perwira Tinggi TNI
- Sempena Safari Ramadhan 1445 H, PD Muhammadiyah Siak Kukuhkan Pengurus PCM Kandis
- Pimpin Bujang Kampung, Wabup Husni Merza Ingatkan Para Camat Pantau Harga Sembako di Pasaran
- Mantapkan Kualitas Jelang MTQ Riau, Kesra Bengkalis Lakukan Pembinaan Terpusat
- Safari Ramadhan di Selat Guntung, Bupati Siak Peringati Hari Lahir IPHI Kabupaten Siak
- Safari Ramadhan, Bupati Rohil Serahkan Bantuan Operasional 3 Rumah Ibadah dan Klaim BPJS
Ahli Ungkap Fenomena Matahari Lockdown dan Siklus 11 Tahunan
(CNN Indonesia/Susetyo Dwi Prihadi)
JAKARTA - Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto menyatakan fenomena Grand Solar Minimum (GSM) atau Matahari Lockdown tidak akan membuat bumi membeku.
Siswanto kemudian menjelaskan bahwa matahari secara alami memiliki variasi perubahan dalam jumlah energi yang dipancarkannya.
Dia berkata variasi yang sudah dikenal adalah variasi 11 tahunan dimana matahari memancarkan energi secara maksimum, yaitu pada saat bintik matahari dalam puncak banyak jumlah dan saat pancaran energinya rendah pada saat bintik matahari lebih sedikit.
"Variasi ini dapat diprediksi lebih presisi pada zaman sekarang," ujar Siswanto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/5).
Siswanto menyampaikan hasil kajian iklim purba atau paleoklimatologi menggunakan berbagai proxy, yakni isotop pada berbagai lapisan sedimen purba menyimpulkan bahwa suhu permukaan bumi pada masa lalu dipengaruhi oleh fluktuasi luaran energi matahari ini.
Hal itu, kata dia terus berlangsung hingga digunakannya instrumen meteorologi sekitar setelah zaman pra-industri 1850an.
"Siklus matahari 11 tahunan, bersama faktor penyetir iklim (climate driver) lainnya, seperti aerosol letusan gunung api, perubahan kemiringan sumbu rotasi bumi, perubahan sirkulasi samudera, dapat menjelaskan perubahan naik dan turun (fluktuasi) suhu udara global, pada waktu itu hingga pertengahan abad 19, sekitar tahun 1950-an," ujarnya.
Lebih dari itu, dia berkata suhu udara permukaan global telah meningkat tajam dan tetap memiliki tren naik bahkan lebih tajam pada dekade akhir-akhir ini sejak 1959.
Padahal sejak 1950 hingga saat ini terjadi tren menurun dari fluktuasi aktifitas matahari dan diperkirakan mencapai kondisi paling minimum di tahun 2020 ini sehingga dikenal sebagai peristiwa GSM.
"Dari fakta ini telah jelas bahwa tren pemanasan suhu global yang diamati selama setengah abad terakhir ini tidak terpengaruh oleh tren penurunan aktifitas matahari tersebut. Bahkan 2016, 2019, 2017, 2018 adalah 4 tahun terpanas dalam sejarah kehidupan bumi selama ini," ujar Siswanto.
Sebelumnya, Siswanto menjelsakan GSM pada periode aktivitas matahari yang sangat rendah sekitar tahun 1650 hingga 1715 di belahan bumi utara terkombinasi dengan pendinginan suhu bumi efek dari aerosol akibat letusan besar banyak gunung api. Dia berkata letusan itu menghasilkan suhu permukaan bumi menjadi lebih rendah.
Lebih lanjut, Siswanto menyampaikan beberapa ilmuwan pakar aktivitas matahari juga meragukan dapat terjadinya GSM dan menyatakan bahwa relatif kecil kemungkinan dari variasi siklus matahari terakhir (disebut SC24) akan membentuk Grand Solar Minimum baru dalam beberapa dekade mendatang.
Jika GSM dapat berlangsung, dia berkata para ilmuwan telah mengkalkulasi besarnya efek yang mungkin dapat ditimbulkannya.
Dalam perhitungan daya radiatif iklim (radiative forcing), Siswanto berkata efek GSM terhadap (pengurangan) luaran pancaran energi matahari yang diterima permukaan bumi diperkirakan sekitar -0,1 Watt/m2.
Besaran itu, lanjutnya sebenarnya ekivalen dengan dampak pertumbuhan konsentrasi karbon dioksida (CO2) selama tiga tahun ini.
"Jadi, GSM yang diperkirakan bisa terjadi itu hanya berfungsi mengimbangi beberapa tahun pemanasan yang disebabkan oleh aktivitas manusia (perubahan iklim antropogenik)," ujarnya.
Di sisi lain, Siswanto menyampaikan pemanasan suhu global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia adalah enam kali lebih besar daripada pendinginan selama beberapa dekade dari Grand Solar Minimum yang diprediksikan dapat terjadi tersebut.
Bahkan, dia berkata suhu global akan terus menghangat jika GSM bertahan satu abad.
(CNNIndonesia.com)