Islam dengan ‘Standar’ Eropa

Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Senin, 29 Agustus 2016 - 11:12 WIB Opini

Berita Terkait

Islam dengan ‘Standar’ Eropa Ikhwanul Kiram Mashuri

BEBERAPA hari lalu ada tulisan menarik di media al Sharq al Awsat. Judulnya ‘Islam bimaqoyisi Aurobiyah’ alias ‘Islam dengan Standar Eropa’. Sang penulis, Sawsan al Abtah, tidak hendak menyampaikan tentang ajaran Islam yang berbeda-beda. Bukan. Sebab, agama Islam atau ajaran Islam kapan pun dan di mana pun tetap sama. Tidak ada Islam versi Indonesia, atau versi Arab, atau model Amerika, atau bahkan standar Eropa dan seterusnya.

Yang ia ingin jelaskan adalah bagaimana umat Islam yang datang dari berbagai belahan dunia bisa hidup nyaman dan aman di Eropa. Atau tepatnya bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri dan hidup harnomis dengan masyarakat setempat yang mempunyai nilai, budaya, dan aturan atau hukum yang berbeda.

Masalah ini perlu dikemukakan, menurut pengamat Timur Tengah ini, karena jumlah umat Islam di negara-negara Eropa akan terus bertambah. Di Jerman dan Prancis saja umat Islam sudah lebih dari 10 juta orang. Separoh di antara mereka lahir di negara-negara asal. Dari jumlah itu sebagian besar adalah anak muda atau usia produktif. Bila mereka ‘dikelola’ dengan baik tentu akan bisa ikut menjadi tulang punggung negara. Sebaliknya, salah penanganan akan jadi bencana.

Upaya pembauran umat Islam dengan masyarakat Eropa kini sedang diupayakan oleh beberapa negara. Para politisi, akademisi, aktivis, dan para ahli ke-Islaman telah berkali-kali bertemu dan berdiskusi. Mereka ingin merumuskan peta jalan baru, yang memungkinkan Eropa bisa menerima jutaan warga Muslim tanpa menjadi ‘negara Islam’. Atau mengurangi nilai-nilai dan identitas Eropa sebagai negara demokratis, sekuler, dan tetap menjunjung tinggi HAM.

Namun, hal itu nyatanya tidak gampang. Persoalannya bisa datang dari masyarakat Islam sendiri. Di Prancis misalnya, diberitakan tentang banyaknya keluhan atau tepatnya pengaduan mengenai para imam dan khatib masjid yang memprovokasi jamaah. Mereka datang dari sejumlah negara Arab. Mereka kemudian naik ke mimbar bak berceramah di masjid-masjid Maroko, Aljazair, Mesir, Pakistan, dan Bangladesh.

Lalu apa yang terjadi bila para imam itu tidak mengerti bahasa, budaya, dan nilai-nilai Prancis? Misalnya mereka menganjurkan hukum qisas? Atau menjelaskan tentang negeri yang diazab Tuhan lantaran penduduknya tidak beriman kepada Allah SWT dan rasulNya?

Sejak awal tahun ini sebanyak 20 masjid di Prancis telah ditutup lantaran dianggap sebagai tempat pengajaran aliran radikal. Boleh jadi lainnya menyusul. Menurut otoritas Prancis, sebagaimana disebut al Abtah, kini terdapat lebih dari 300 imam yang memberi pelajaran agama di sekitar 2500 masjid. Mereka hanya tahu bahasa Arab dan tidak memahami nilai-nilai masyarakat setempat.

Persoalan lainnya menyangkut umat Islam Prancis adalah terkait dengan pendanaan. Misalnya, bisakah umat Islam di Prancis menerima dana bantuan dari pihak-pihak luar negeri? Kalau tidak bisa, lalu apa solusinya? Apakah umat Islam Prancis sendiri yang membiayai kegiatan keagamaan mereka? Misalnya dari hasil penjualan daging halal? Kalau semua itu tidak dimungkinkan, terus apakah negara sekuler seperti Prancis mendanai lembaga-lembaga keagamaan?

Di Jerman kondisi umat Islam mungkin lebih baik. Angela Merkel -- untuk pertama kali dalam sejarah negaranya – mengakui Islam merupakan bagian dari Jerman. Ia adalah kanselir untuk setiap warga negaranya, terlepas dari asal-usul dan agama, selama mereka tunduk pada peraturan dan mengikuti nilai-nilai demokrasi Jerman. Tahun ini mereka menerima lebih dari 1 juta pengungsi Arab/Suriah.

Bahkan Partai Demokrat Sosial Jerman telah mengusulkan pengajaran agama Islam -- seperti halnya agama lain -- di seluruh sekolah-sekolah Jerman. Dengan demikian keluarga-keluarga Muslim tidak perlu lagi mengirimkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berada di luar kontrol negara/pemerintah.

Selanjutnya, beberapa universitas telah ditunjuk untuk menggodok para guru yang akan mengajarkan agama Islam ini. Kini lembaga-lembaga atau universitas tadi sudah mulai menelorkan tenaga-tenaga pengajar agama Islam dengan standar Jerman atau bahkan Eropa.

Kebijakan ‘Islam dengan standar Eropa’ ini juga sudah mulai diadopsi sejumlah negara Eropa, termasuk Prancis. Mereka berharap umat Islam yang jumlahnya meningkat begitu cepat bisa membaur dan hidup harmonis dengan masyarakat setempat. Pada 2025 jumlah umat Islam di Prancis diperkirakan akan mencapai 25 persen dari keseluruhan penduduk. Sedang di Uni Eropa secara keseluruhan, menurut sebuah studi, jumlah umat Islam akan mencapai 20 persen pada 2050.

Diskusi atau kebijakan ‘Islam dengan standar Eropa’ ini semakin mendesak manakala muncul berbagai serangan teroris di daratan Eropa. Serangan teroris yang sebenarnya hanya dilakukan segelintir orang. Namun, yang menjadi tertuduh adalah umat Islam secara keseluruhan. Apalagi ketika kemudian muncul Islamophobia.

Padahal umat Islam di Eropa sebenarnya bukan satu kelompok. Mereka datang dari berbagai negara dengan latar-belakang yang berbeda-beda. Mereka berkomonitas-komunitas. Namun, mereka akan merasa senasib ketika muncul gerakan anti-Islam dan umat Islam alias Islamophobia.

Perasaan senasib sebagai korban Islamophobia inilah yang seringkali memunculkan ‘gerakan tak terduga’. Apalagi secara ekonomi dan sosial komunitas-komunitas Muslim di Eropa pada umumnya adalah ‘masyarakat kelas dua’. Mereka merasa terpinggirkan. Perasaan ‘terpinggirkan’ inilah yang acapkali dimanfaatkan kelompok-kelompok teroris.

Sebagian warga Prancis yang bergabung dengan ISIS diketahui bukan ‘Muslim taat’. Namun, ‘perasaan terpinggirkan’ telah menjadikan mereka bersimpati dan kemudian bergabung dengan ISIS. Lihatlah, mereka yang tergabung dengan ISIS kini tak lagi berjenggot. Juga tidak tampak sering ke masjid. Mereka seperti warga biasa lainnya. Mondar-mandir ke klub-klub malam. Menenggak minuman keras dan berdansa-dansi dengan perempuan. Pun tidak asing dengan narkoba.

Kabar terakhir menyebutkan, tahun ini ada sekitar 31 ribu perempuan ISIS telah melahirkan. Di antara mereka terdapat perempuan-perempuan Prancis. Bisa dibayangkan bagaimana bila suatu saat mereka -- plus anak-anaknya -- kembali ke Prancis. Mereka dikhawatirkan bisa menjadi pejuang ISIS yang telah dicuci otaknya. Mereka tahunya hanya Muslim atau kafir.

Meskipun jumlah mereka kecil, namun bisa sangat berbahaya bila salah memperlakukannya. Apalagi bila jumlah yang kecil ini dijadikan dasar untuk mengambil keputusan yang menyangkut seluruh umat Islam. Tanda-tanda seperti ini sudah mulai terlihat ketika muncul larangan burkini di beberapa pantai di Prancis yang menuai pro-kontra.

Apalagi mereka juga sudah mengenakan denda buat pemakai burkini. Beberapa pihak melihat larangan ini sebagai serangan bukan hanya pada perempuan yang kena denda, namun juga Muslim secara keseluruhan. Bahkan ada yang menganggap larangan burkini sebagai tak sesuai dengan semboyan nasional Prancis: kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.

Hal-hal ‘kecil’ seperti inilah yang justeru sering mengganggu pembauran. Karena itu perlu dilakukan kajian secara mendalam dan menyeluruh. Tidak boleh parsial.

Intinya, bagaimana menjadikan warga Muslim bisa membaur dengan mesyarakat Eropa pada umumnya. Loyalitas mereka juga harus kepada negara di mana mereka hidup. Semua itu tentu saja tanpa menghilangkan indentitas dan kebebasan menjalankan agama mereka.

Inilah yang dimaksud dengan ‘Islam dengan Standar Eropa’, yang kini sedang menjadi diskusi ramai di beberapa negara Eropa. (ROL)

Key Takeaways: Dominate the digital landscape with Smmsav.com and Followersav.com your go-to best SMM Panel in 2024 for affordable social media marketing solutions. Best Press release services in 2024 is Followersav and Smmsav boost your business with us. best Smm panel Buy Spotify streams casino Script casino Script
Senin, 05 November 2015 - 11:12 WIB
Tulis Komentar

0 Komentar

Tulis Komentar

Berita Terbaru