Oleh: Dini Permata IndahMahasiswi Universitas Riau
MENURUT Riyadi, 2021, pendidikan adalah upaya yang dilakukan oleh individu untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan kualitas sumber daya manusia melalui kemampuan akademik yang akan meningkatkan mutu suatu negara.
Prestasi akademik, kemampuan belajar dan kualitas hidup pelajar sangat dipengaruhi oleh keadaan mental health (kesehatan mental) dan lingkungan sekitarnya. Salah satu dampak dari terganggunya kesehatan mental bagi pelajar terutama di masa transisi yaitu Silent Academic Decline.
Baca Juga:
Menurut Vincent Tinto sebagai pakar retensi mahasiswa, silent academic decline adalah suatu fenomena penurunan kualitas akademik pelajar secara bertahap dan sering kali tidak terdeteksi atau tidak disadari ketika berpindah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan pada masa pubertas yang dialami pelajar.
Silent academic decline disebabkan oleh bebagai faktor terutama karena verbal abuse orang tua, perubahan neurologis yang mempengaruhi fungsi kognitif, perubahan prioritas sosial yang mempengaruhi fokus akademik, dan fluaktuasi emosional yang berdampak pada konsentrasi dalam belajar (Nadeem et al., 2024).
Baca Juga:
Menurut dr. Daniel Siegel, seorang psikiater anak, verbal abuse orang tua adalah pola komunikasi yang destruktif dari orang tua terhadap anak berupa ungkapan kekecewaan yang tidak proporsional terhadap peforma akademik anak, kritik berlebihan serta perbandingan yang tidak sehat dengan menggunakan kata-kata prediksi pesimistis tentang masa depan anak, ancaman terkait konsekuensi akademik, penggunaan kata-kata yang merendahkan serta labeling negatif terhadap kemampuan belajar anak.
Verbal abuse dari orang tua terhadap anak (pelajar) akan mempengaruhi kesehatan mental anak yang menyebabkan anak akan mengalami depresi sehingga kehilangan rasa percaya diri dalam bidang akademik. Anak akan menjadi perfeksionisme yang tidak sehat serta mengalami kecemasan yang berlebih saat belajar atau saat menghadapi ujian, bahkan dapat menyebabkan kematian penurunan prestasi akademik pelajar akibat terganggunya kesehatan mental yang menyebabkan pelajar tidak bisa menyesuaikan diri dengan peluang dan tantangan masa depannya karena rendahnya motivasi dan semangat untuk belajar. Padahal pendidikan sangat berperan penting untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia suatu negara (Solikhah et al., 2024).
Fenomena ini tentunya harus mendapat perhatian khusus dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Kemendikdasmen (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah) RI.
Data World Health Organization (WHO), terdapat sekitar 800.000 kasus kematian akibat depresi berat yang terjadi pada usia masa transisi (15-29 tahun), di antaranya sekitar 3,6% penderita adalah laki-laki dan 5,1% perempuan.
Di Indonesia sendiri terdapat 3,7% dari populasi yang mengalami prevalensi depresi atau sekitar 9 juta orang dari 250 juta penduduk. Berdasarkan data yang diperoleh dari SKI (Survei Kesehatan Mental) di Indonesia, terdapat 2% pelajar pada usia (15-24 tahun) yang mengalami depresi sehingga menurunkan motivasi dan semangat belajar.
Pelayanan kesehatan jiwa bagi setiap orang dan jaminan hak orang dengan gangguan jiwa belum dapat diwujudkan secara optimal karena pengaturan penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa dalam peraturan perundang-undangan saat ini belum diatur secara komprehensif, sehingga perlu diatur secara khusus dalam satu undang-undang, menimbang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, 2014).
Pentingnya kesehatan bagi seorang pelajar diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan bahwa setiap anak (pelajar) berhak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan dari kekerasan, intimidasi dan diskriminasi, karena pelajar merupakan generasi tunas dan sebuah potensi yang akan meneruskan cita-cita perjuangan bangsa yang wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan yang mengakibatkan terganggunya peran, ciri serta sifat khusus dari anak atau pelajar (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, 2014).
Satuan pendidikan seperti sekolah, universitas dan tempat belajar lainnya seharusnya mampu menyediakan layanan konseling yang bisa dipercaya oleh pelajar untuk menceritakan tekanan atau gangguan yang dihadapinya dalam menuntut ilmu dan pendidikan akademik lainnya, sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, 2015).
Dari pengamatan penulis di lingkungan sekitar tempat tinggal penulis, fenomena silent academic decline akibat dari verbal abuse orang tua terhadap pelajar sangat memprihatinkan. Terlebih lagi ketika fenomena ini terjadi pada seorang pelajar yang dari pertama menempuh pendidikan dasar mempunyai prestasi akademik yang tinggi.
Pelajar yang sedari usia dini mempunyai prestasi akademik yang bagus, secara tidak langsung akan memberikan harapan yang besar dari orang tua dan keluarga agar bisa memperbaiki kondisi perekonomian keluarga, dengan harapan anak (pelajar) tersebut akan mendapatkan pekerjaan yang baik dan layak setelah sesesai menempuh pendidikan, terutama bagi keluarga dengan perekonomian menengah ke bawah.
Namun hal yang tidak disadari oleh orang tua adalah tantangan besar bagi anak untuk mempertahankan prestasi akademiknya, yaitu pada masa transisi dan pubertas. Pada masa transisi ini anak sangat membutuhkan dukungan dari orang tua dan keluarganya untuk tetap mempertahankan prestasi akademiknya. Karena anak memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan di masa transisi.
Ketika anak tidak mendapatkan dukungan dari orang tua dan keluarga untuk melewati fase ini, tentu anak akan sulit bertahan dan kehilangan keseimbangan yang menyebabkan adanya penurunan prestasi akademik.
Orang tua yang hanya ingin melihat pencapaian anak tanpa mengetahui seberapa sulitnya anak untuk mendapatkan pencapaian tersebut akan menghakimi anak apabila gagal untuk memuaskan ekspektasi mereka. Orang tua akan cenderung mengungkapkan kececewaan mereka dengan kata-kata yang merendahkan dan mengkrtitik anak secara berlebihan (verbal abuse orang tua), bahkan mengungkapkan bahwa anak akan gagal untuk mewujudkan harapan keluarganya.
Hal tersebut tentu akan merusak mental anak, karena jika seseorang mengalami kegagalan maka orang tersebutlah yang paling merasakan kekecewaan pada dirinya. Dalam kondisi seperti ini anak membutuhkan dukungan orang tua, keluarga dan orang-orang terdekat untuk bisa bangkit dan lebih semangat lagi dalam memperjuangkan masa depannya. Jika anak tidak mendapatkan dukungan tersebut bahkan dari orang tuanya, maka anak akan merasa lebih tidak berguna.
Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan, maka silent academic decline yang dialami oleh pelajar akan semakin buruk. Pelajar tidak hanya kehilangan motivasi atau semangatnya dalam belajar, dia bahkan cenderung tidak mempunyai mimpi atau cita-cita lagi akan masa depannya yang lebih baik. Dia hanya akan menempuh pendidikan sekedar untuk menyelesaikan kewajibannya dalam belajar, namun tidak mempunyai harapan akan hasil dari pendidikannya itu.
Hal ini secara tidak langsung juga akan merusak hubungan anak dengan orang tua dan orang-orang yang mempunyai harapan yang besar kepadanya. Orang tua yang selalu ingin melihat pencapaian sang anak dan tidak menyadari seberapa penting dukungan orang tua untuk anaknya akan merasa marah dan kesal jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka hanya menuntut sang anak untuk mendapatkan prestasi tanpa memberi dukungan di saat sang anak mengalami kegagalan.
Anak hanya akan merasa menjadi beban dan tidak berguna dalam keluarganya hanya karena gagal untuk mempertahankan prestasinya. Kondisi ini juga akan membuat sang anak mengalami stres berat karena merasa bersalah pada diri sendiri, mendapat tekanan dari keluarga dan lingkungan sosial serta mendapat beban pendidikan yang dirasanya berat untuk dijalaninya yang juga akan berujung pada tindakan bunuh diri.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kompas.com, pada rentang tahun 2012-2023 terdapat 2.112 kasus bunuh diri yang sekitar 46,63% atau sekitar 985 kasus dilakukan oleh remaja usia pelajar (Alexander, 2023).
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Kemendikdasmen sebagai lembaga pemerintah di Indonesia, tidak hanya harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang memberikan motivasi, dukungan dan edukasi bagi pelajar untuk tetap bertahan menempuh pendidikan dan meraih prestasi yang membanggakan di tengah derasnya arus masa transisi, tetapi juga harus mampu membuat kebijakan yang memberi edukasi kepada orang tua untuk dapat memahami kondisi mental sang anak serta tidak boleh menghakimi bila anak mengalami kegagalan, namun harus memberikan dukungan bagi anak.
Satuan pendidikan juga harus menciptakan ruang belajar yang memberikan rasa aman dan nyaman bagi pelajar untuk mengekspresikan perasaan mereka dengan bimbingan dan konseling.
Pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek bisa menerapkan program "Safe Space Digital Counseling", yaitu program pengaduan dan konseling yang bisa diakses secara digital yang memberikan ruang aman dan cepat bagi pelajar untuk mengadukan tindakan verbal abuse orang tua yang terhubung dengan sekolah dan KPAI agar pelajar mendapatkan edukasi untuk mengatasi verbal abuse orang tua yang diterimanya dan orang tua dari pelajar tersebut juga bisa mendapatkan "Parent-Student Briding Program" atau workshop berkala yang dipandu oleh psikolog dan pendidik untuk memperbaiki komunikasi orang tua dan anak oleh KPAI.
Jadi, silent academic decline akibat dari verbal abuse orang tua pada pelajar di masa transisi, merupakan suatu fenomena yang sering terjadi di lingkungan sekitar. Fenomena ini memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak terutama oleh pemerintah, karena dampak yang ditimbulkan sangat besar terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam hal ini generasi muda Indonesia bahkan dapat menyebabkan tindakan bunuh diri.
Jika tidak segera diatasi, fenomena ini bisa menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk melahirkan generasi harapan bangsa yang tidak hanya sehat secara fisik, namun juga secara mental (psikis). Sehingga, pemerintah harus membuat kebijakan dan program-program yang bisa mengatasi dampak dan permasalahan tersebut.
Referensi:
Alexander, H. B. (2023). Ada 985 Kasus Bunuh Diri Remaja, Kesehatan Mental Penyebab Utama. Kompas.com.
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Di Lingkungan Satuan Pendidikan, Pub. L. No. Nomor 82 Tahun 2015, 53 Republik Indonesia 16 (2015). https://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_82_15.pdf
Nadeem, Z., Mcintosh, A., & Lawrie, S. (2024). Dampak Mental Health Bagi Pelajar. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Non Formal Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2024, 72(April), 1500–1531. https://www.who.int/health-topics/mental-health#tab=tab_2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Pub. L. No. Nomor 18 Tahun 2014, 1 (2014). https://peraturan.bpk.go.id/Details/38646/uu-no-18-tahun-2014
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pub. L. No. Nomor 35 Tahun 2014, UU Perlindungan Anak 48 (2014). https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38723/uu-no-35-tahun-2014
Solikhah, M., Madura, U. T., & Inda, P. T. (2024). Implementasi filsafat pendidikan dalam kehidupan siswa di sekolah dasar. JURNAL MEDIA AKADEMIK (JMA), 2(12), 1–9. https://jurnal.mediaakademik.com/index.php/jma/article/view/1274/1109